Secangkir Kata
![]() |
Image: liputan6.com |
oleh: Annisa Nurba iffah’da
Saat itu ketika kerja kelompok prakarya di rumah Jeni, teman kelasku. Menikmati kudapan yang ada seraya mendiskusikan apa yang harus dibuat untuk tugas kerajinan tangan. Saat teman lain sedang berpendapat, jendela yang melihatkan setengah bagian jalan di depan rumah Jeni menarikku untuk ke luar dan memastikan. Saya menyipitkan mata, berharap dapat melihat dengan jelas. Yang benar saja, saya melihat Lara di depan kedai es yang sangat populer di Yogyakarta. Ia sedang fokus menikmati es yang ia genggam, sendirian.
Senja pun merayap
gelap. Azan magrib mulai berkumandang. Kami pun mengakhiri pertemuan hari ini.
Dan alhasil kesimpulannya adalah masih bingung ingin membuat asbak dari tanah
liat atau pajangan indah dari lilin. Terasa sia-sia memang, tapi kalau dipikir-pikir
kembali, tak begitu menyesal karena sudah malihat Lara dengan kebetulan. Saya
percaya kalau pertemuan antara dua insan yang direncanakan oleh Tuhan selalu
punya arti. Entah kalimat apa yang akan keluar di akhir pertemuan. Pilihannya
ada dua: mengucapkan selamat datang kembali atau malah selamat tinggal.
“Sabian!” panggil ibu
ketika saya baru ingin melangkah masuk ke kamar. Saya langsung berbalik badan
dan menanggapi ibu, wanita pertama yang kusayang setelah eyang putri. “Ada apa, bu?”
“Mengapa pulangnya
malam nak?” sambil menghela napas panjang, dan dengan nada meninggi pun ibu
berkata, “jangan pernah main-main lagi dengan mereka!”
“Gurumu tadi
menelepon ibu. Kamu sering ngomong tanpa ada lawan bicara, senyum-senyum sambil
lihat ruangan kosong dan hal lain yang membuat mereka berpikir kalau kamu
terkena gangguan psikis!” potongnya cepat dengan oktaf suara meninggi. Mungkin
benar dugaan mereka kalau sebenarnya saya sudah gila. Gila karena
manusia-manusia yang tak kasat mata atau dikenal dengan sebutan hantu.
Sampai-sampai saya susah membedakan, ah! Yang mana manusia hidup dengan yang sudah mati.
“Lain kali kamu tidak boleh berbuat seperti itu lagi, ya? Ibu tidak ingin ini
hanya janji.”
“Ya, bu,” jawabku
sambil menganggukan dan sedikit merasa jengkel. Kalimat itu sering sekali
keluar dari mulut ibu kalau saya sudah bertingkah menyeramkan menurut ibu tapi
wajar menurutku. Wajar saja kalau saya bermain-main dengan ‘mereka’ jikalau
saya bisa melihatnya. Tidak usah susah payah mendefinisikan seperti apa
rasanya, kawan terdekatku dapat menilai sendiri dari keseharianku: menyeramkan,
aneh, yang pasti selalu terganggu setiap saat.
Seperti
kejadian tiga puluh tahun silam, nenek sempat bercerita pada ibu. Ketika itu
adik nenek yang aku tak tahu rupanya, mengalami nasib yang serupa denganku.
Lebih parahnya lagi, ia berkabar kalau ingin menikahi lelaki yang sudah pernah
hidup—maksudku, telah mati. Beliau kekeh ingin menikah, akhirnya membuat
psikisnya terganggu yang mengakibatkan beliau gila sampai-sampai bunuh diri.
Itu lah mengapa ibu selalu was-was kalau saya bermain-main dengan hantu. Takut
kalau anak semata wayangnya jatuh hati pada hantu.
Sabtu
ini sama seperti hari-hari biasanya, kalau jam istirahat saya selalu duduk di
atas papan yang ada di belakang kelas XI IPA 1, tepatnya di samping lorong
menuju kantin. Itu tandanya, saya sedang berkumpul di belakang kelas Lara. Kebiasan
ini tak bisa dihubungkan dengan perihal saya menyukainya atau tidak. Toh
sebelum saya mengenal Lara, saya dan rombongan sering kumpul di sini. Melirik
adik kelas yang menarik, menggoda kakak kelas, dan hal lain yang membuat waktu
terasa sia-sia namun mengasyikan.
“Dek!
Ikut kumpul sini sama kakak.” rayuan Dino selalu saja seperti itu tiap harinya.
Beda lagi kalau Ryan, lelaki berjambul, tak tanggung-tanggung kalau ia sudah
menggoda kakak kelas dengan kata-kata sok puitisnya.
“Lara,
tumben ke kantin?” pertanyaan itu otomatis membuat kepalaku mendongak. Benar
adanya, Ryan sedang berusaha menggoda Lara yang kukira sebelumnya gadis itu
adalah hantu. Tunggu, kalau Ryan dan Dino dapat melihat Lara, artinya ia
manusia sungguhan, bukan? Entah mengapa hatiku tiba-tiba rasanya lega.
Saya
berbeda jauh dengan Dion dan Ryan. Kalau mereka sok asik, saya berusaha tidak
begitu. Kalau mereka tak suka membaca, saya malah menyukainya. Kata anak-anak,
terutama wanita di kelasku, kalau dalam novel picisan mereka bisa digolongkan
sebagai bad boy. Tak jarang
orang-orang bingung bagaimana bisa lelaki unik sepertiku berteman dengan
mereka.
Ketika
Lara akan beranjak keluar dari kantin, saya langsung pamit karena ingin ke
toilet. Entah alasan apa yang mampu membuat saya berbohong pada Dion dan Ryan.
Padahal, tak lain saya hanya ingin bicara sebentar pada Lara.
“Permisi,”
kataku berusaha mengimbangi langkah kakinya. Alih-alih menjawab, ia malah tak
mengacuhkanku. “Lara, kan?” tanyaku basa-basi.
“Bicaralah
lalu pergi.” Saya benar-benar kaget dibuatnya. Gadis berkuncir satu ini selalu
membuat jatungku berdetak lebih cepat dengan gaya bicaranya ataupun bahasa
tubuhnya. “Saya Sabian. Pulang sekolah bisa bertemu?”
“Katakan
sekarang atau tidak sama sekali.” rasanya, saya tak pernah bergulat dengannya.
Lantas mengapa ia terlihat sedang marah? Apa saya menggangunya?
“Pacaran,
yuk?” langkah kakinya otomatis berhenti ketika mendengar kalimat konyol yang
kulontarkan. Yang benar saja, saya pun kaget ketika kalimat itu yang keluar
dari mulutku. Dua insan yang jarang berbincang, bahkan bertemu saja seperti tak
kenal satu sama lain, tiba-tiba berbicara seperti tadi? Mustahil kalau ajakanku
diterima.
“April
Moop~” Ryan dan Dino menyambar dari belakang sembari mengolok-olok saya dan
Lara. Padahal saya tidak sedang bercanda, walaupun saya sedikit bersyukur atas
kedatangan mereka karena tak jadi membuat keadaan akan semakin aneh dan kaku.
Alhasil pernyataan Ryan dan Dino ditelan mentah-mentah oleh Lara, lalu ia
langsung mempercepat langkah kakinya dan pergi. Sebelum ia pergi, gadis itu
menatap mataku sinis, saya jadi merasa bersalah. Jadi ingin menemuinya sepulang
sekolah.
Bel
pulang sekolah berbunyi. Benar adanya, saya menemui Lara di kedai depan
sekolah. Saya melihat aura yang terpancar sangat berbeda darinya. Padahal kalau
dihitung-hitung baru beberapa jam yang lalu saya bertemu dengannya dalam
keadaan ketus, cuek dan dingin. Namun
mulai detik ini, ia malah memamerkan senyuman manis kepada orang yang
berlalu-lalang di hapadannya. Gadis itu dapat tergolong manusia berperilakuan
ganda, menurutku. Tapi hal itu semakin membuatku percaya diri untuk menemuinya.
“Lara!”
sapaku.
“Iya?
Ada apa?” tanyanya penasaran.
“Besok
nonton turnamen basket enggak? Sekolah kita tanding.”
“Kau
main juga?”
“Iya.
Nonton saja, ya?”
“Tentu.”
Semenjak
percakapan itu terjadi, hubungan saya dan dirinya semakin dekat. Kami sering
mengobrol di sekolah tentang apapun sampai hal tak penting saja kami jadikan
topik pembicaraan. Bahkan saya pernah datang ke festival malam dengannya hanya
untuk naik komedi putar! Konyol
bukan?
Tapi
itu semua tak hanya membuatku senang. Saya malah sering mendapatkan tatapan
aneh dari manusia di sekitar saya. Terlebih pada Ryan dan Dino. Saya sengaja
merahasiakan kedekatan hubunganku dengan Lara (yang notabenenya masih dalam
masa pendekatan) pada mereka. Karena ada Ryan si lelaki bermulut lebar yang
akan membeberkan ke satu kelasnya dan mengolok-olok Lara di kelas mereka
nantinya. Namun saat itu, mereka seperti baru mengenaliku. Melontarkan
pertanyaan yang padahal mereka sudah tahu jawabannya atau mereka lupa kalau
saya mempunyai banyak teman di alam yang berbeda. Seperti: Sabian sedang bicara
dengan siapa? Sabian sedang melihat apa?
Ditambah dengan Lara yang belum hilang dari
sifat berperilakuan gandanya. Apa tebakanku betul jikalau gadis cantik itu
berperilakuan ganda? Faktanya, saya pernah menyapanya dua kali di sekolah dalam
satu hari namun berbeda waktu dengan respon yang diberikan juga berbeda. Sapaan
pertama saat istirahat, ia menyambutku dengan semangat. Sedangkan sapaan kedua
setelah jam pulang sekolah, ia seperti tak pernah mengenaliku. Dan itu terjadi
bukan hanya sekali atau dua kali, tapi berulang kali.
“Lara,
saya ingin bertanya boleh?”
“Ada
apa?”
“Kenapa
menunjukkan sifat yang berbeda dari biasanya?” alih-alih menjawab, ia malah
terkekeh pelan seolah meremehkan ucapanku. Dan kali ini ia menjadi Lara yang
cuek dan ketus. Bukan Lara ramah yang sering kutemui akhir-akhir ini. “Bicara
yang jelas,” katanya.
Dialog
yang kulahirkan dengan Lara sepulang sekolah kemarin, sampai saat ini masih
membuatku bingung. Atau Lara sedang mempermaikanku? Tapi ulang tahunku masih
lama, kok. Atau Lara memiliki kembaran? Ah, mana mungkin namanya sama-sama
Lara.
Malam
ini, di kamar yang menjadi saksi bisu segala aktivitasku selama 16 tahun.
Meskipun wajah Lara yang selalu terpatri dari memori ingatanku; ah, saya tidak
mau menjadi pendusta yang selalu larut dalam kejadian aneh dan gila. Meskipun tentangmu Lara. Saya akan
merencanakan hal yang cukup luar biasa untuk besok.
***
Pagi
tadi saya sudah berpesan pada Lara untuk bertemu di halaman belakang sepulang
sekolah tanpa mengajak siapa-siapa. Awalnya ia berpikir yang tidak-tidak,
namun, sudah kupastikan kalau hal aneh itu tak akan terjadi. Lalu ia setuju dan
sekarang di sinilah kami berdiri. Saya bersandar di pagar sambil berpikir keras
bagaimana cara untuk memulai rencana yang sudah kubuat sedari malam. Sedangkan
Lara sedang menunggu saya bersuara.
“Lara, saya minta
kali ini jawab dengan jujur dan jelas. Pernah datang ke festival malam
bersamaku hanya untuk menaiki bianglala?” tanyaku berhati-hati.
“Tidak,” jawabnya.
“Duh! Tidak
bagaimana sih?! Jelas-jelas waktu itu kau sedang naik bianglala denganku!”
ucapku geram terhadap jawabannya.
“Itu bukan aku.
Itu kembaranku, Rala. Ia meninggal dua tahun lalu. Ia menjelma menjadi diriku
hanya untuk dekat denganmu. Maaf untuk itu,” jelas Lara yang masih membuatku
tak paham. “Maksudnya?”
“Aku sama
sepertimu. Aku memiliki supranatural. Kalau melihat aku cuek, itu benar-benar
aku, Lara. Kalau kau melihat diriku ramah dan manja, itu bukan aku, tapi Rala,
kembaranku yang sudah meninggal dua tahun lalu dan menyamar menjadi Lara.
Paham? Di sana Rala. Di belakangmu. Sampaikanlah amarahmu. Ia akan berpulang
hari ini. Syukur kau mengajakku ke sini lebih dulu.”
Saya tak sanggup
menengok ke belakang. Apa benar-benar ada Rala? Tapi saya juga penasaran. Saat
berbalik badan, benar, saya mendapatkan Rala yang sedang tersenyum. “Maaf
Sabian untuk selama ini,” katanya. Saya masih tak percaya, melihat Lara sebagai
manusia dan Rala sebagai hantu yang kedua fisiknya jelas serupa, bersamaan.
Jadi saya selama ini jatuh hati kepada Lara atau Rala? Pertemuanku dengan Rala
biarlah berakhir dengan ucapan selamat tinggal, tapi untuk Lara semoga saja
tidak.
“Terimakasih
kepada Rala,” kataku. (*)
Tidak ada komentar