Header Ads

Header ADS

Secangkir Kata

 

Image: liputan6.com

oleh: Annisa Nurba iffah’da

 Deras hujan mengurung kami di sebuah kedai depan sekolah. Tatapan matanya yang mampu menghipnotis alam semesta rasanya ingin kubawa ke rumah. Senyum merekah dari wajahnya yang kini tak pernah lari dari memori ingatanku. Namun apa daya, tak sempat bercengkerama karena hujan mulai reda yang mengharuskan ia pulang lebih dulu.

             Wajah gadis yang duduk berseberangan denganku itu nyaris mirip dengan guru di sekolah menengah pertamaku. Lara namanya. Si gadis yang aktif dalam organisasi kepenulisan. Tak jarang tulisan yang dilahirkan olehnya sering terpampang di majalah dinding sekolah.  Namun sayang, manusia lain selalu menganggap seolah ia telah tiada. Berjalan sendirian, bahkan mengobrol pun nyaris tak pernah. Mungkin saja hal-hal yang biasanya dilakukan kebanyakan manusia, tak menarik untuk dilakukan olehnya. Mungkin itu juga sudah menjadi alasan mengapa saya tertarik padanya.

          

  Saat itu ketika kerja kelompok prakarya di rumah Jeni, teman kelasku. Menikmati kudapan yang ada seraya mendiskusikan apa yang harus dibuat untuk tugas kerajinan tangan. Saat teman lain sedang berpendapat, jendela yang melihatkan setengah bagian jalan di depan rumah Jeni menarikku untuk ke luar dan memastikan. Saya menyipitkan mata, berharap dapat melihat dengan jelas. Yang benar saja, saya melihat Lara di depan kedai es yang sangat populer di Yogyakarta. Ia sedang fokus menikmati es yang ia genggam, sendirian.

            Senja pun merayap gelap. Azan magrib mulai berkumandang. Kami pun mengakhiri pertemuan hari ini. Dan alhasil kesimpulannya adalah masih bingung ingin membuat asbak dari tanah liat atau pajangan indah dari lilin. Terasa sia-sia memang, tapi kalau dipikir-pikir kembali, tak begitu menyesal karena sudah malihat Lara dengan kebetulan. Saya percaya kalau pertemuan antara dua insan yang direncanakan oleh Tuhan selalu punya arti. Entah kalimat apa yang akan keluar di akhir pertemuan. Pilihannya ada dua: mengucapkan selamat datang kembali atau malah selamat tinggal.

            “Sabian!” panggil ibu ketika saya baru ingin melangkah masuk ke kamar. Saya langsung berbalik badan dan menanggapi ibu, wanita pertama yang kusayang setelah eyang putri. “Ada apa, bu?”

            “Mengapa pulangnya malam nak?” sambil menghela napas panjang, dan dengan nada meninggi pun ibu berkata, “jangan pernah main-main lagi dengan mereka!” 

            “Gurumu tadi menelepon ibu. Kamu sering ngomong tanpa ada lawan bicara, senyum-senyum sambil lihat ruangan kosong dan hal lain yang membuat mereka berpikir kalau kamu terkena gangguan psikis!” potongnya cepat dengan oktaf suara meninggi. Mungkin benar dugaan mereka kalau sebenarnya saya sudah gila. Gila karena manusia-manusia yang tak kasat mata atau dikenal dengan sebutan hantu. Sampai-sampai saya susah membedakan, ah! Yang mana manusia hidup dengan yang sudah mati. “Lain kali kamu tidak boleh berbuat seperti itu lagi, ya? Ibu tidak ingin ini hanya janji.”

“Ya, bu,” jawabku sambil menganggukan dan sedikit merasa jengkel. Kalimat itu sering sekali keluar dari mulut ibu kalau saya sudah bertingkah menyeramkan menurut ibu tapi wajar menurutku. Wajar saja kalau saya bermain-main dengan ‘mereka’ jikalau saya bisa melihatnya. Tidak usah susah payah mendefinisikan seperti apa rasanya, kawan terdekatku dapat menilai sendiri dari keseharianku: menyeramkan, aneh, yang pasti selalu terganggu setiap saat.

            Seperti kejadian tiga puluh tahun silam, nenek sempat bercerita pada ibu. Ketika itu adik nenek yang aku tak tahu rupanya, mengalami nasib yang serupa denganku. Lebih parahnya lagi, ia berkabar kalau ingin menikahi lelaki yang sudah pernah hidup—maksudku, telah mati. Beliau kekeh ingin menikah, akhirnya membuat psikisnya terganggu yang mengakibatkan beliau gila sampai-sampai bunuh diri. Itu lah mengapa ibu selalu was-was kalau saya bermain-main dengan hantu. Takut kalau anak semata wayangnya jatuh hati pada hantu.

            Sabtu ini sama seperti hari-hari biasanya, kalau jam istirahat saya selalu duduk di atas papan yang ada di belakang kelas XI IPA 1, tepatnya di samping lorong menuju kantin. Itu tandanya, saya sedang berkumpul di belakang kelas Lara. Kebiasan ini tak bisa dihubungkan dengan perihal saya menyukainya atau tidak. Toh sebelum saya mengenal Lara, saya dan rombongan sering kumpul di sini. Melirik adik kelas yang menarik, menggoda kakak kelas, dan hal lain yang membuat waktu terasa sia-sia namun mengasyikan.

            “Dek! Ikut kumpul sini sama kakak.” rayuan Dino selalu saja seperti itu tiap harinya. Beda lagi kalau Ryan, lelaki berjambul, tak tanggung-tanggung kalau ia sudah menggoda kakak kelas dengan kata-kata sok puitisnya.

            “Lara, tumben ke kantin?” pertanyaan itu otomatis membuat kepalaku mendongak. Benar adanya, Ryan sedang berusaha menggoda Lara yang kukira sebelumnya gadis itu adalah hantu. Tunggu, kalau Ryan dan Dino dapat melihat Lara, artinya ia manusia sungguhan, bukan? Entah mengapa hatiku tiba-tiba rasanya lega.

            Saya berbeda jauh dengan Dion dan Ryan. Kalau mereka sok asik, saya berusaha tidak begitu. Kalau mereka tak suka membaca, saya malah menyukainya. Kata anak-anak, terutama wanita di kelasku, kalau dalam novel picisan mereka bisa digolongkan sebagai bad boy. Tak jarang orang-orang bingung bagaimana bisa lelaki unik sepertiku berteman dengan mereka.

            Ketika Lara akan beranjak keluar dari kantin, saya langsung pamit karena ingin ke toilet. Entah alasan apa yang mampu membuat saya berbohong pada Dion dan Ryan. Padahal, tak lain saya hanya ingin bicara sebentar pada Lara.

            “Permisi,” kataku berusaha mengimbangi langkah kakinya. Alih-alih menjawab, ia malah tak mengacuhkanku. “Lara, kan?” tanyaku basa-basi.

            “Bicaralah lalu pergi.” Saya benar-benar kaget dibuatnya. Gadis berkuncir satu ini selalu membuat jatungku berdetak lebih cepat dengan gaya bicaranya ataupun bahasa tubuhnya. “Saya Sabian. Pulang sekolah bisa bertemu?”

            “Katakan sekarang atau tidak sama sekali.” rasanya, saya tak pernah bergulat dengannya. Lantas mengapa ia terlihat sedang marah? Apa saya menggangunya?

            “Pacaran, yuk?” langkah kakinya otomatis berhenti ketika mendengar kalimat konyol yang kulontarkan. Yang benar saja, saya pun kaget ketika kalimat itu yang keluar dari mulutku. Dua insan yang jarang berbincang, bahkan bertemu saja seperti tak kenal satu sama lain, tiba-tiba berbicara seperti tadi? Mustahil kalau ajakanku diterima.

            “April Moop~” Ryan dan Dino menyambar dari belakang sembari mengolok-olok saya dan Lara. Padahal saya tidak sedang bercanda, walaupun saya sedikit bersyukur atas kedatangan mereka karena tak jadi membuat keadaan akan semakin aneh dan kaku. Alhasil pernyataan Ryan dan Dino ditelan mentah-mentah oleh Lara, lalu ia langsung mempercepat langkah kakinya dan pergi. Sebelum ia pergi, gadis itu menatap mataku sinis, saya jadi merasa bersalah. Jadi ingin menemuinya sepulang sekolah.

            Bel pulang sekolah berbunyi. Benar adanya, saya menemui Lara di kedai depan sekolah. Saya melihat aura yang terpancar sangat berbeda darinya. Padahal kalau dihitung-hitung baru beberapa jam yang lalu saya bertemu dengannya dalam keadaan  ketus, cuek dan dingin. Namun mulai detik ini, ia malah memamerkan senyuman manis kepada orang yang berlalu-lalang di hapadannya. Gadis itu dapat tergolong manusia berperilakuan ganda, menurutku. Tapi hal itu semakin membuatku percaya diri untuk menemuinya.

            “Lara!” sapaku.

            “Iya? Ada apa?” tanyanya penasaran.

            “Besok nonton turnamen basket enggak? Sekolah kita tanding.”

            “Kau main juga?”

            “Iya. Nonton saja, ya?”

            “Tentu.”

            Semenjak percakapan itu terjadi, hubungan saya dan dirinya semakin dekat. Kami sering mengobrol di sekolah tentang apapun sampai hal tak penting saja kami jadikan topik pembicaraan. Bahkan saya pernah datang ke festival malam dengannya hanya untuk naik komedi putar! Konyol bukan?

            Tapi itu semua tak hanya membuatku senang. Saya malah sering mendapatkan tatapan aneh dari manusia di sekitar saya. Terlebih pada Ryan dan Dino. Saya sengaja merahasiakan kedekatan hubunganku dengan Lara (yang notabenenya masih dalam masa pendekatan) pada mereka. Karena ada Ryan si lelaki bermulut lebar yang akan membeberkan ke satu kelasnya dan mengolok-olok Lara di kelas mereka nantinya. Namun saat itu, mereka seperti baru mengenaliku. Melontarkan pertanyaan yang padahal mereka sudah tahu jawabannya atau mereka lupa kalau saya mempunyai banyak teman di alam yang berbeda. Seperti: Sabian sedang bicara dengan siapa? Sabian sedang melihat apa?

             Ditambah dengan Lara yang belum hilang dari sifat berperilakuan gandanya. Apa tebakanku betul jikalau gadis cantik itu berperilakuan ganda? Faktanya, saya pernah menyapanya dua kali di sekolah dalam satu hari namun berbeda waktu dengan respon yang diberikan juga berbeda. Sapaan pertama saat istirahat, ia menyambutku dengan semangat. Sedangkan sapaan kedua setelah jam pulang sekolah, ia seperti tak pernah mengenaliku. Dan itu terjadi bukan hanya sekali atau dua kali, tapi berulang kali.

            “Lara, saya ingin bertanya boleh?”

            “Ada apa?”

            “Kenapa menunjukkan sifat yang berbeda dari biasanya?” alih-alih menjawab, ia malah terkekeh pelan seolah meremehkan ucapanku. Dan kali ini ia menjadi Lara yang cuek dan ketus. Bukan Lara ramah yang sering kutemui akhir-akhir ini. “Bicara yang jelas,” katanya.

            Dialog yang kulahirkan dengan Lara sepulang sekolah kemarin, sampai saat ini masih membuatku bingung. Atau Lara sedang mempermaikanku? Tapi ulang tahunku masih lama, kok. Atau Lara memiliki kembaran? Ah, mana mungkin namanya sama-sama Lara.

            Malam ini, di kamar yang menjadi saksi bisu segala aktivitasku selama 16 tahun. Meskipun wajah Lara yang selalu terpatri dari memori ingatanku; ah, saya tidak mau menjadi pendusta yang selalu larut dalam kejadian aneh dan gila. Meskipun tentangmu Lara. Saya akan merencanakan hal yang cukup luar biasa untuk besok.

***

            Pagi tadi saya sudah berpesan pada Lara untuk bertemu di halaman belakang sepulang sekolah tanpa mengajak siapa-siapa. Awalnya ia berpikir yang tidak-tidak, namun, sudah kupastikan kalau hal aneh itu tak akan terjadi. Lalu ia setuju dan sekarang di sinilah kami berdiri. Saya bersandar di pagar sambil berpikir keras bagaimana cara untuk memulai rencana yang sudah kubuat sedari malam. Sedangkan Lara sedang menunggu saya bersuara.

“Lara, saya minta kali ini jawab dengan jujur dan jelas. Pernah datang ke festival malam bersamaku hanya untuk menaiki bianglala?” tanyaku berhati-hati.

“Tidak,” jawabnya.

“Duh! Tidak bagaimana sih?! Jelas-jelas waktu itu kau sedang naik bianglala denganku!” ucapku geram terhadap jawabannya.

“Itu bukan aku. Itu kembaranku, Rala. Ia meninggal dua tahun lalu. Ia menjelma menjadi diriku hanya untuk dekat denganmu. Maaf untuk itu,” jelas Lara yang masih membuatku tak paham. “Maksudnya?”

“Aku sama sepertimu. Aku memiliki supranatural. Kalau melihat aku cuek, itu benar-benar aku, Lara. Kalau kau melihat diriku ramah dan manja, itu bukan aku, tapi Rala, kembaranku yang sudah meninggal dua tahun lalu dan menyamar menjadi Lara. Paham? Di sana Rala. Di belakangmu. Sampaikanlah amarahmu. Ia akan berpulang hari ini. Syukur kau mengajakku ke sini lebih dulu.”

Saya tak sanggup menengok ke belakang. Apa benar-benar ada Rala? Tapi saya juga penasaran. Saat berbalik badan, benar, saya mendapatkan Rala yang sedang tersenyum. “Maaf Sabian untuk selama ini,” katanya. Saya masih tak percaya, melihat Lara sebagai manusia dan Rala sebagai hantu yang kedua fisiknya jelas serupa, bersamaan. Jadi saya selama ini jatuh hati kepada Lara atau Rala? Pertemuanku dengan Rala biarlah berakhir dengan ucapan selamat tinggal, tapi untuk Lara semoga saja tidak.

“Terimakasih kepada Rala,” kataku. (*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.