Cerpen: Rapuh Yang Tak Terlihat
![]() |
Gambar oleh Leopictures dari Pixabay |
Karya : Revi Ramadiva Herdian
Matahari
minggu belum menampakkan dirinya, tapi aku harus tetap bangun sekarang juga karena mendengar sebuah
kegaduhan. Aku tidak kaget, bahkan sudah terbiasa
dengan kegaduhan itu, sudah seperti asupan bagiku. Namaku Kayra Lathifa, gadis berusia 16 tahun yang duduk di
bangku SMA. Kegaduhan tadi adalah perbuatan
kedua orangtua ku yang selalu berkelahi sejak aku masih kecil, ya itu
lah alasan kenapa aku menganggap itu seperti santapan pagiku.
Aku membuka pintu kamar, melihat pecahan
gelas berserakan di lantai. Mataku beralih ke seorang wanita yang menangis
sedu, ya itu Mamaku. Aku hanya menatapnya, aku bosan selalu basa-basi
dengan bertanya, apa yang terjadi? Padahal jawabannya tak pernah berubah,
karena tingkah bodoh papaku. Aku langsung mengambil
sapu untuk membersihkan kaca yang berserakan.
Matahari sudah berani menampakkan dirinya,
suara kokok ayam mulai terdengar, kamar
di ujung ruangan sudah mulai terbuka, mataku beralih pada seseorang yang baru saja keluar, itu adalah Agra. Adikku
yang kedua, ia duduk dibangku SMP. Aku memiliki
satu adik lagi, namanya Naqita, ia duduk dibangku SD. Agra mendekatiku, seperti
ingin bertanya sesuatu.
“Kak, malam tadi ribut lagi?”
tanya Agra, aku hanya mengangguk bertanda ya.
“Aku capek kak, rasanya ingin pergi dari rumah, kalau bisa menghilang saja dari Bumi. Masa setiap hari kak?” Agra duduk disebelahku, melihat raut wajahnya, aku paham sekali bahwa dia sedang kesal.
“Bukan
hanya kamu Gra yang capek, kakak juga. Tapi mau bagaimana lagi? Kita masih dibawah umur untuk ikut campur,
jangan gara-gara ini kamu jadi anak yang menyimpang Gra” aku menepuk pundaknya, dia hanya tersenyum tipis.
“Apa sebabnya?” dia kembali bertanya.
“Sebab? Maksudmu?” aku malah balik
bertanya.
“Maksudku, sebab perkelahian malam tadi apa? Apa seperti
biasa atau yang lainnya?” tanya Agra sambil menatap mataku.
“Sepertinya
masalah yang sudah sering terjadi, sudah jangan terlalu dipikirkan” aku menjawab dengan mantap. Aku sedikit takut,
karena diluar sana banyak anak yang bernasib
seperti kami dan mereka melalukan hal yang menyimpang, aku takut Agra akan bertindak seperti itu, oleh sebab itu
aku selalu menasehati Agra agar tidak terlalu
memikirkannya.
“Dasar,
tidak ada habisnya”
Agra pergi beranjak
meninggalkanku di ruang TV.
Naqita keluar dari kamarnya dan berpapasan dengan Agra, terlihat sedikit berbincang dan Agra langsung pergi meninggalkan Naqita. Naqita menuju ke arahku.
“Pagi kak” Naqita menyapaku
hangat, aku membalas
dengan senyuman. “Kenapa
kak? Kok kayak ada yang dipikirin?” kata Naqita.
“Ah, gak ada kok. Kakak cuma kurang tidur aja, kalau kamu mau
makan, sudah kakak siapin dibelakang” kataku
tersenyum. Aku tak mau membebankan
pikiran seperti ini kepada Naqita,
bahkan berbagi kisah ini kepada Agra pun aku sungkan, karena aku tak mau mereka kepikiran sepertiku, umur mereka juga belum cocok
untuk semua hal ini.
“Kak,
hari ini mau temenin aku ke Central Park gak? Sekalian aku mau take tugas untuk hari
Selasa” tanya Naqita kepadaku.
Setelah sarapan, aku langsung masuk ke
kamar untuk menyelesaikan tugasku. Aku sempat
melihat mama saat sarapan tadi, seperti biasa matanya bengkak. Kalau papa setelah berkelahi selalu pergi entah
kemana, mungkin menghilangkan emosi? Aku tak
tahu. Aku selalu bisa menempatkan diri, sejak kecil aku sudah terlatih
untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan, toh kalau bisa senang kenapa harus bersedih?
Sejak kecil, aku selalu dihadapkan dengan
kejadian pahit yang sampai sekarang pun
masih saja kuhadapi, berlanjut tanpa ujung, ya perkelahian kedua orangtua ku. Kadang kala aku berpikir, kenapa tidak
berpisah? Kenapa mereka masih bersama, padahal
saling menyakiti satu sama lain. Tapi aku juga belum terpikir bagaimana kalau itu benar terjadi? Bagaimana
nasib aku, Agra dan Naqita?
Mungkin kami bertiga
adalah alasan mama dan papa bertahan.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11
siang. Aku merentangkan tangan, dan bergerak
membersihkan meja belajarku, mengambil setelan baju di dalam lemari. Setelah
berganti pakaian, pintu
kamarku terketuk.
“Ya, masuk” kataku menatap
pintu yang perlahan
terbuka. “Ma, kenapa
ma?” tanyaku kepada mama.
“Kak,
mama perlu bicara sebentar sama kamu” aku melihat jam dinding, mungkin tak apa kalau Naqita dan Agra menunggu
sebentar, aku mengangguk dan kembali duduk di
kursi belajar. Mama duduk diatas kasurku, sedikit menarik nafas, sepertinya ini perbincangan yang agak berat untuk dibicarakan.
“Kak,
mama mau berpisah dengan papa” aku yang mendengarnya sontak kaget, benar benar
terkejut, apa yang aku pikirkan
terjadi, barusan saja mama ucapkan.
Aku
diam menahan air mata, menatap kebawah lantai agar mama tidak melihat kalau air mataku ingin menetes, aku harus
kuat. Tapi tak bisa, akhirnya air mataku jatuh
perlahan, aku menangis tanpa suara ya itu kebiasaanku dulu setiap mama dan papa berkelahi. Ternyata setegar apapun
aku menghadapi tingkah mereka, tetap saja air mataku akan jatuh.
“Kak, mama pikir ini adalah keputusan
yang sangat baik” aku langsung
memotong perkataan mama.
“Baik untuk siapa ma? Untuk aku atau untuk diri mama sendiri?”
mama hanya diam memandangiku yang sudah
tak tahan lagi menahan air mata.
“Kak, kamu gak paham”
perkataan mama ku potong lagi.
“Sudahlah
ma, aku gak perlu capek-capek nangis, itu keputusan mama, aku minta mama pikir ulang dan jangan sampai menyesal,
aku pamit pergi dulu dengan
Agra dan Naqita,
assalamualaikum” aku berlalu
keluar kamar meninggalkan kamar, sebelum menuju
ke Naqita dan Agra, aku menghapus sisa air mata, aku tak mau kelihatan
rapuh, sedih didepan mereka.
Aku berjalan menuju Agra dan Naqita didepan, aku harus
tenang dan jangan membuat mereka curiga. Saat aku tepat
didepan mereka, mereka menatapku tajam tanpa berkedip, seperti meminta penjelasan
kenapa aku lama.
“Haha,
maaf ya tadi kakak ada tugas tambahan sebentar, tadi sih sudah siap, tiba-tiba ada tambahan
mendadak” aku tersenyum simpul
kepada mereka berdua.
“Kurang
lama kak, aku udah
kepanasan nih” kata Agra dongkol,
aku tertawa.
Tiba-tiba
mama datang, berdiri dibelakangku. Aku binggung, apalagi yang mau mama bicarakan, kuharap
mama tidak membahasnya didepan adik-adik. Mama langsung berpindah
posisi didepan kami bertiga, menarik
nafas sebentar, seraya menatapku
mantap. Beliau juga menatap Agra dan Naqita sebentar dan memulai pembicaraan.
“Nak,
mama sudah buat keputusan, bahwa mama akan meminta pisah dengan papa” Naqita dan Agra kaget bukan main, aku juga
kaget karena tidak menyangka bahwa mama akan berbicara seperti ini didepan
Naqita dan Agra.
“Ma?
Mama serius?” Agra menatap mama tajam, seperti tatapan marah, sedih dan kecewa bercampur dalam satu waktu. Mama
mengangguk pelan. Naqita menutup mulutnya tak percaya, Agra bener-benar tampak
marah, ia langsung
membanting kursi yang ada di sampingnya, serentak semuanya kaget.
“Apa
gak ada cara lain dalam menyikapi suatu masalah Ma?!” kata Agra, suara nya begitu besar dan terdengar sedikit
bergetar. Aku langsung mengelus punggung Agra,
menyuruhnya agar tetap mengontrol emosi nya.
“Sudah
berbelasan tahun mama hidup dengan papa kalian, hanya sedikit kebahagian yang mama peroleh
nak” tiba-tiba air mata mama menetes, Naqita juga ikut menangis.
Agra mengepal tangan nya, kulihat ia mencoba menahan air mata, aku hanya diam menatap kejadian ini.
Tiba-tiba
mobil papa datang,
papa turun dari dalam mobil dan membawa
setumpuk kertas. Papa menghela nafas panjang dan memulai pembicaraan.
“Kalau mama kalian memang mau berpisah
dengan papa, papa akan menerima
keputusannya dan papa yang akan mengurus semua datanya” papa berdiri di sebelahku, aku hanya diam mematung.
“Haha,
ya ini keputusan yang cukup benar. Orang seperti kalian yang sama-sama egois memang tidak bisa bersatu!” Agra meninggalkan
kami dan masuk ke dalam rumah.
“Tolong, apapun keputusan kalia, jangan pernah melibatkan kami, selesaikan semuanya tanpa ada sisa!” aku langsung
menarik tangan Naqita untuk masuk ke dalam rumah bersamaku.
Agra tampak emosi di dalam, ia terus saja
mengepal tangannya sampai berwarna merah, aku menyuruh Naqita duduk disampingku.
“Sudah, kalian berdua jangan terlalu memikirkan ini. Apapun yang akan terjadi
kedepannya, kita pasrahkan saja. Jangan karena masalah ini, kita jadi
sosok yang patah semangat dan enggan
untuk beribadah” aku tersenyum kepada mereka, Agra menatapku tanpa berkedip.
“Kak,
apa kakak gak capek dengan semua kepura-puraan ini. Aku tau kakak sedih, kecewa.
Tapi kenapa kakak tutupi seolah-olah tidak terjadi apa-apa
kak?” Agra mengeraskan suaranya, Naqita terus saja
menangis. Aku tak tega melihat Naqita terus
menangis, anak seumuran dia
belum seharusnya menerima semua ini.
“Kalau
ditanya, jujur kakak juga capek, Gra. Dari kecil kakak selalu melihat mereka berkelahi saling menyakiti satu sama lain.
Sekarang mungkin sudah saatnya mereka bepisah,
mungkin ini keputusan yang baik Gra untuk mereka berdua, mereka sudah bertahan demi kita bertiga, sekarang kita
biarkan mereka menyudahi semuanya” aku langsung
mengusap kepala Agra, seketika Agra memelukku dan menangis. Aku rasa air mataku
tidak bisa kutahan lagi, dan benar saja aku juga ikut
menangis.
Beberapa bulan kemudian, mama dan papa
resmi bercerai. Hak asuh kami jatuh ke tangan
mama. Sesuai kesepakatan kami semua, bahwa papa masih boleh berkunjung menemui kami kapan pun itu tanpa adanya
larangan dari mama. Keadaan sudah mulai membaik,
mama sudah bersikap seperti biasanya. Agra terlihat
mencoba untuk ikhlas,
sedangkan
Naqita kadang kala masih sering menangis. Aku selalu tak tega melihat Naqita menangis
karena hal ini.
Di suatu sore yang indah. Aku, Agra dan
Naqita memutuskan untuk pergi ke Central Park. Mungkin Central
Park bisa menjadi
tujuan untuk orang-orang yang lelah akan
semua peristiwa yang mereka lalui. Kami duduk di bangku taman sambil memakan
cemilan. Tiba-tiba Agra berkata.
“Ternyata
lega juga ya kak, kita gak lagi mendegar piring atau gelas melayang di rumah” aku
dan Agra tertawa, Naqita hanya
diam.
“Naqita,
kamu jangan berlarut-larut dalam kesedihan ya. Gak baik, nanti kebahagian kamu malah hilang kalau kamu terus-terusan bersedih.
Bahagia bukan tentang
memiliki keluarga lengkap dalam satu rumah saja. Bahagia itu banyak bentuknya” aku mengelus rambut
Naqita, Agra mengangguk dan mengelus rambut
Naqita juga.
“Benar
kata kak Kay, belajar mengikhlas kan ya, Qit. Walaupun mama dan papa berpisah, kita tetap keluarga. Kamu tetap
anak mama dan papa, kamu tetap adik kak Agra
dan kak Kay” kata Agra mantap, aku tersenyum ke Agra. Naqita memeluk kami berdua.
“Baiklah, aku akan mulai belajar mengikhlas seperti kak Kay dan kak Agra. Kelihatanya sulit, tapi tetap akan ku coba” Naqita tersenyum lebar, kami pun tertawa.
Matahari akan segera terbenam, kami tidak
menyia-yiakan fenomena yang indah itu,
dari Matahari kita belajar, bahwa yang datang akan pergi pada waktunya. Seperti kisah mama dan papa. Mereka berpisah pada waktunya. Tetap bahagia semuanya.
Tidak ada komentar