Antara Asa dan Aku
![]() |
Foto: id.linkedin.com |
By. Nisa MaulidaSelffi
Pagi ini terasa begitu dingin. Tak seperti biasanya, kutarik lagi selimut setelah alarm berdering. Sayup terdengar suara gemercik air yang menetes dari helai daun pohon mangga di luar kamarku yang kemudian tetes airnya semakin deras dan kencang. Ya, ini bulan penghujan, penghujung oktober akan segera melambai berpisah dan berganti dengan november yang pasti masih ditemani hujan.
“Dinaaa… Dina, bangun nak. Katanya kamu mau tes wawancara di cafe
favoritmu!” mataku melebar mendengar perkataan ibu. “Iya bu! Yang benar saja,
aku lupa dengan jadwal wawancara yang akan dimulai pagi ini,” kata Dina saat
beranjak meninggalkan tempat tidur dan bergegas mandi lalu mempersiapkan diri
untuk wawancara di cafe.
Bersahabat dengan malam dan tidur begitu larut menjadikanku nyaris
setiap pagi melompat dari tempat tidur. Namaku Dina, anak tunggal dari seorang
ibu tunggal yang bekerja keras sebagai seorang penjahit rumahan. Helai demi
helai benang dijahit menjadi rupiah yang biharapkan dapat untuk menyambung
hidup sehari-hari ditengah hiruk pikuknya kota Jakarta. Saat ini aku beranjak
dari masa peralihan untuk menjadi dewasa dan menentukan pilihan hidup. Selama
masa sekolah, aku manfaatkan dengan belajar, belajar, dan belajar dengan
harapan masa depan bisa lebih baik. Semua itu terwujud dengan keberhasilanku
saat lulus ujian sekolah menengah atas dan untuk saat ini kegalauan
menghantuiku dalam menentukan masa depan. Hati kecilku ingin bahagiakan orang
tua, mengangkat derajatnya, dan mengubah nasib meraih asa.
Ya, asa yang terlintas di pikiran harus terwujud bagaimanapun caranya,
belajar dan searching informasi
kampus tujuan. Semua yang kulakukan hanya untuk menggapai cita-cita. Pernah
pada suatu pagi, ketika melintasi jalan ke sekolah, terlihat sekilas poster
kampus impianku. Ya, kampus itu berada di luar negeri. Hal yang tak sulit untuk
di capai bahkan di bayangkan. Namun, tidak sejalan dengan kenyataan tapi, tidak
denganku. Ambisiku harus menjadi kenyataan untukku. Egois memang, tapi itulah
aku dengan segala ambisi yang menggebu-gebu, jiwa muda yang masih bergejolak
didada. Rutinitas sehari hari dari pagi hingga siang bersekolah pulang ke rumah
dan membantu ibu menjahit helai demi helai pakaian order pelanggan. Itulah aktivitas yang selalu hari demi hari
aku lakukan. Dengan harapan uang terkumpul banyak dan bisa menggapai asa yang
bahkan tidak mungkin untuk di bayangkan sekalipun.
“Buuuuuu!”
teriakku pagi itu sambil cerita tentang poster di sudut sekolah yang
membuat imajiasi asaku saat itu tercipta, kuliah luar negeri.
“Akuuu ingin kuliah di luar negeri buuu” ucap
Dina dengan mata penuh harap.
”Hah.. luar negeri?” ujar ibu.
“Iyyaa bu aku ingin ke luar negeri, pendidikan
luar negeri pasti lebih baik, terlihat sangat menjanjikan, aku ingin itumenjadi
orang yang sukses bu, pokoknya aku ingin kuliah diluar negeri.” Ucap Dina.
“Diinnnn, coba lihat kita, lihat ibu, siapa
kita siapa ibu, apa yang kita punya? jangankan kuliah, buat makan saja hanya
bisa sederhana, apalagi buat kuliah ke sana, ongkos pun ibu tak sanggup
mengikuti asa kamu. Sudahlah udahh belajar yang rajin, belajar jahit, bantu
ibu, sehingga tamat sekolah kamu bisa melanjutkan apa yang ibu lakukan.” Kata
ibu yang seolah menampar mimpi Dina yang telah dirancangnya.
Mendengar semua itu membuat hatiku sakit, pikiranku semakin sempit.
Rasanya aku ingin marah, aku membenci kehidupanku yang tidak layak, tanpa
terasa air mataku terjatuh. “Nak, jangan menangis… kamu harus menjadi gadis
yang kuat, hanya kamu yang ibu punya saat ini nak, kalau kamu pergi jauh ibu
bagaimana? Bukankah seharusnya kamu mengikuti hasil wawancaramu dan bekerja
sebaik-baiknya? Ibu tidak akan memaksamu menjadi seperti ibu”, suara ibu
terdengar lirih, sesekali aku menatapnya dan semakin deras air mataku melihat
kesedihannya. Aku berlari keluar rumah dan mencari cara melupakan kesedihan
hari ini.
Kriiinnngg…. Kriiiingggg… suara handphone
berbunyi, sebuah panggilan dari nomor yang tidak ku kenal, “haloooo…” aku
menyapa, “selamat siang, benar dengan saudari Dina?” terdengar suara wanita
yang lembut, “iyaaa benar, ini siapa?” aku semakin penasaran, “ini dari
Delicious Cafe, mohon untuk datang siang ini ya kami menunggu kehadirannya
terimakasih selamat siang” telepon terputus.
Tanpa pikir panjang aku mengendarai motor bututku menuju cafe itu, aku
datang menemui pimpinan cafe dan aku diminta untuk bekerja besok. Pikiranku
menjadi lebih cerah seketika, aku mulai melupakan perdebatan antara aku dan
ibu. Hari ini berjalan begitu cepat hingga aku pulang dengan langit yang sudah
merah merona, senja telah datang dengan dingin yang menemaniku dalam perjalanan
pulang.
Seperti hari-hari sebelumnya cuaca dingin terus berdatangan diselingi
hujan yang menari-nari kegirangan, bulan november telah datang. Aku tidak
pernah peduli dengan hujan yang deras, pagi yang dingin atau siang yang begitu
macet. Aku hanya peduli dengan pekerjaanku saat ini, aku berusaha bekerja
dengan sebaik-baiknya. Hari ini aku bekerja shift
malam, cafe sangat ramai karena ini adalah sabtu malam dan banyak sekali
pasangan yang datang menikmati menu weekend
di cafe kami. Dari pintu masuk datang seorang pemuda sebaya yang duduk di meja
paling sudut dengan membawa tasnya, aku datang menghampirinya dan menawarkan
menu terbaru sambil menyodorkan buku menu. Dia memesan satu Hot Hazzelnut Latte dan Tuna Spaghetti, sepertinya dia tidak
bersama kawan atau pasangan tanpa sadar aku tersenyum. Dia terus melihatku
sampai aku tersadar dan malu, dengan cepat aku pergi membawa note pesanannya kebagian dapur. Dalam
hati aku bergumam sendiri, belum pernah aku begini terlihat bodoh dihadapan
orang asing.
Hari memang terasa cepat berlalu, besok sudah bertemu dengan sabtu
malam lagi, dan seperti biasa aku bertugas sejak sore hingga malam di cafe.
Semangatku hari ini sepertinya lebih banyak dari hari lain, aku bekerja sambil
bersenandung lagu kesukaanku, teman-teman di cafe juga menganggap aku sangat
ceria hari ini. “Sudah pukul 19.00 WIB harusnya dia sudah tiba” aku bertanya
sendiri dalam hati. Sepertinya aku menantikan kedatangan orang yang bahkan
tidak ku kenal. Aku mencoba memecah lamunanku dan membalik badan memberi
mencatat pesanan, ternyata saat itu juga dia datang. Aku merasa gugup, takut,
senang dan yang pasti aku merasa aneh dengan perasaanku.
Seperti biasanya aku datang ke meja sudut itu menemuinya dan
menawarkan menu, tidak ada yang berubah dengan kalimatku dan tidak ada yang
berubah dengan dirinya yang selalu datang sendiri. Dia memesan menu yang sama
dengan sebelumnya, dengan gugup aku bertanya “ada tambahan menu? Kita memiliki
menu weekend for Couple jadi bisa hemat makan bareng pasangan”, “ohh aku mau
kok, jadi aku pesan itu juga yaa” jawabnya sambil tersenyum. “duuuhhhhh manis
sekali” aku terus memujinya dalam hati dan bergegas menyiapkan pesanannya.
Setelah semua menunya siap aku datang mengantarkan ke mejanya dan aku merasa
sedikit kecewa karena dia memesan menu untuk berdua, rasanya sedih tapi aku
berusaha menutupi itu dan tetap tersenyum. “selamat menikmati makanannya,
selamat menunggu pasangannya juga” aku berusaha membuat diriku tenang. “kamu
menemani aku makan ya! Silahkan duduk”, dia menarik kursi didepannya dan
mempersilahkan aku duduk, seketika aku cemas dan menoleh kearah managerku
seolah meminta ijin namun seperti memahami managerku menganggukan kepalanya.
Lalu kami saling berkenalan, ternyata namanya Dito, aku merasa bertemu dengan
diriku sendiri ketika itu, kami memiliki banyak kesamaan. Dina dan Dito siapa
sangka kami sekarang menjadi begitu akrab hingga bertukar nomor handphone.
Baca Juga : Cerpen Meraih Mimpi
Disuatu siang tidak seperti biasanya Dito datang menemuiku di Cafe dan
tepat sekali jam kerjaku telah habis, kami berdua pergi dengan mobil kerennya
kesuatu tempat. Yupsss! Kami makan di Café mahal, aku sangat bahagia meski kami
belum resmi berpacaran. Aku hanya nyaman dia menambah keceriaan hari-hari ku
beberapa waktu terakhir. “Din, kamu punya pacar?” Dito tiba-tiba menanyakan
soal pacar, “aku belum punya pacar Dit, belum bertemu orang yang pas dan merasa
belum waktunya” aku menjawab apa adanya. “Syukur deh kalo gitu, berarti kita
bisa berteman dekat tanpa harus merasa tidak enak dengan orang lain” balas
Dito, “Ooohh, tentu saja” aku tersenyum kecil.
Malam itu kami berbincang banyak hal, soal keluarga, kesukaan,
makanan, pengalaman sekolah, dan kami saling bercerita tentang cita-cita. Siapa
yang akan menyangka kami sama-sama ingin
kuliah di Jerman. Semangatku yang telah hilang sekarang menjadi tersulut
kembali, aku mulai membayangkan betapa cerahnya masa depanku nanti. “Dit, ini
tidak semudah apa yang kita bayangkan, aku mau kita kuliah bersama tapi aku
bukan berasal dari keluarga yang mampu untuk membiayai itu, ibuku juga tidak
akan mengijinkan aku” seketika menjadi hening. “Aku mengerti Din, tapi semua
itu bukan menjadi penghalang, aku bakal usahakan beasiswa untuk kamu, ibumu
pasti senang dan bangga” balas Dito sambil menyodorkan beberapa lembar formulir
pengajuan beasiswa dan daftar persyaratan. Aku benar-benar tidak dapat
mengatakan apapun kecuali ungkapan terima kasih ke Dito. Aku pulang dengan
semangat yang menggebu menemui ibuku, tanpa basa-basi aku masuk ke kamar ibu
dan menceritakan semua angan-anganku kepadanya sambil menyodorkan formulir beasiswaku.
“Nak, bukankah ibu sudah mengatakan sebelumnya, ibu tidak punya siapapun selain
kamu nak, hanya kamu satu-satunya yang ibu cintai”, “Bu, tidak semua orang
mendapat kesempatan ini, ibu tidak perlu siapin biaya ini itu, Dina masih punya
tabungan, dan beasiswa ini mengcover
semuanya kok bu”, “Iya, ibu mengerti nak, apa kamu tidak terpikir kalau kamu
sakit di sana bagaimana? dan siapa yang akan merawat kamu? Ibu sangat ingin
melihatmu sukses dan bahagia tapi ibu tidak mau kita terpisah begitu jauh nak… ibu
tetap tidak akan mengijinkan”, “Dina tidak mengerti sama pemikiran ibuu!!!, ibu
dari dulu tidak pernah dukung kemauan Dina! Mulai sekarang ibu tidak perlu
capek berpikir tentang aku, biar Dina memutuskan semuanya sendiri, Dina nggak
perlu dukungan dari ibu!!!”. Aku sangat
kecewa dengan tanggapan ibu, aku mengisi ranselku dengan beberapa baju
dan pergi meninggalkan rumah, aku tidak peduli perasaan ibu atau apapun, hatiku
sakit sekali.
Dua hari telah berlalu, aku menginap disebuah penginapan kecil di
dekat Café. Beberapa kali Dito menelepon tapi aku tak punya kekuatan untuk
menjawabnya. Tak lama kemudian Dito mengunjungiku, dia datang ke Café untuk
menemuiku dan saat itu juga aku menceritakan semuanya. Dito turut bersedih
tetapi dia memintaku untuk pulang, “Din, pulanglah… tidak ada hal yang baik
tanpa restu seorang ibu, kamu tidak akan menjadi sukses jika ibumu tidak
memberi restu, pulanglah” wajah Dito penuh harap. Aku hanya diam dan menangisi
kesalahanku. “Din, kamu tidak perlu bersedih, aku akan kuliah dengan giat dan
berusaha sebaik mungkin menjadi sukses, kamu harus menemani masa tua ibumu yang
hanya sendirian, kamu satu-satunya yang dia cintai, kamu akan sangat menyesal
kalau disisa usianya kamu tidak bersamanya, sukses tidak harus diluar negeri
Din, disini juga kamu bisa sukses kuliah sambil kerja, yuk aku antar kamu
pulang!”. Mendengar ucapan Dito aku nangis sejadi-jadinya, “aku mau pulang
Dit,…” aku terus menangis bahkan selama perjalanan menuju ke rumah. Aku
mengingat semua ucapan kasarku pada ibu, aku membayangkan bagaimana ibu
melewati dua malam ini sendirian. Sesampainya di depan rumah aku turun dari
mobil Dito dengan berlari kencang mencari ibu dan memeluknya, “maafkan Dina bu,
maafkan” mataku tidak dapat menampung, ibu juga menangis tapi tidak mampu
berkata apapun, aku sangat memahami ibu hanya bersyukur aku kembali baik-baik
saja. Aku baru tersadar bahwa asaku bukan segalanya, cita-citaku tak akan
membuatku menjadi anak yang tidak berbakti kepada ibuku. Dialah satu-satunya
yang menyayangi dan mencintaiku tanpa syarat.***
Tidak ada komentar