Cerpen: Kemana Perginya Para Bintang
![]() |
Gambar oleh Євген dari Pixabay |
Karya : Dia Dipralira Ramadini
NGELONG.MY.ID. Bintang bintang mulai kehilangan sinarnya dari langit kami. Berbeda dengan puluhan waktu silam, cakrawala malam tidak lagi bersinar. Paling paling cuma hampa, persis ketika kamu melihat perpustakaan yang makin berkurang pengunjungnya dari tahun ke tahun. Orang orang mulai bertanya, menyusun hipotesis, mengkaji, menyelidiki,menyimpulkan. Beberapa orang telah mengatakan bahwa anak anak telah membandel dan tidak lagi menggantungkan mimpinya dilangit, bahkan tidak lagi menuruti nasihat para leluhur. Ada yang berpendapat bahwa bintang bintang tersebut telah dicuri oleh sosok yang bernama ‘Pencuri mimpi’. Walaupun hipotesis tersebut telah merebak dan beberapa gerakan antisipasi telah dilakukan, realita tetaplah realita. Para bintang telah bosan mengisi langit malam kami.
Pertama kali mendengar sebutan ‘Pencuri mimpi’ aku langsung mendapat gambaran seseorang yang amat tercela serta dapat melakukan apa saja agar satu-dua bintang dapat jatuh, bahkan kehilangan sinarnya. Dahulu, aku membayangkan pencuri mimpi adalah sosok mirip Nenek lampir yang sering diceritakan sebelum tidur. Akan tetapi, lambat laun aku menyadari bahwa pencuri itu telah mengganti wajahnya sedemikian rupawan agar tidak ada yang menyadari tabiat buruknya.
Sejak menyadari hal tersebut, aku bertekad untuk menghukum mereka, mereka yang bersalah, yang telah egois, yang telah memadamkan bintang bintang dari langit malam kami.
Namun, aku tidak menyadari bahwa pencuri mimpi tersebut mampu menjelma menjadi pemilik mata bercahaya pun tubuh renta yang memiliki ruang tersendiri didalam dadaku.“Nak, semoga kamu bisa masuk kedinasan ya.. agar masa depanmu terjamin, juga meringankan Ibu dan Bapak.”
Aku ingat betul kapan aku menulis mimpi dan menggantungkan bintangku dilangit, secra diam diam ketika malam semakin sunyi. Bermula ketika ditanyai perihal cita cita dan jurusan kuliah apa yang harus aku ambil, “Nita ingin ambil jurusan desain Pak, Bu.”
Para pencuri mimpi itu saling berpandangan menciptakan hening, barangkali mengingat seberapa keras mereka membajak sawah dan membuat kue sambil membayangkan bagaimana jika aku duduk anteng disalah satu sekolah kedinasan. Lantas para pencuri itu mendekatiku, menceritakan keinginan mereka yang ingin melihat aku sukses dimasa depan, “Kalau kamu masuk kedinasan, semua bakal ditanggung negara. Masa depanmu juga terjamin. Kalau pensiun tetap dapat gaji dari negara. Kamu tidak perlu khawatir hidup susah.”
Aku melihat sepasang mata bercahaya itu redup, mereka tetap mengucapkan beberapa kalimat untuk meyakinkanku. “Orang orang kuliah untuk mendapatkan kerja, tapi banyak dari mereka yang gagal dan menjadi pengangguran. Dengan masuk kedinasan, kamu mendapat jaminan. Kamu belajar untuk bekerja.”
Aku tertunduk dan mendengarkan mereka, teriris dan tersayat. Namun, kuteguhkan tekad untuk masuk jurusan desain agar dapat membuktikan kepada para pencuri mimpi bahwa tidak mudah untuk merenggut dan memadamkan bintang bintang dilangit sana. Ada kilat amarah dimata renta itu, terdapat kekecewaan ketika mereka berbalik, meninggalkanku di balik pintu.
Mereka masih membajak sawah dan berjualan kue. Akan tetapi, mereka selalu bersikap pasif tiap kali aku meminta pertimbangan mereka sebelum mengikuti lomba. Mereka bergeming tiap kali aku pulang membawa piala, pandangannya, aku tahu mereka berusaha berkata, “Tidak bisakah kamu berhenti, Nita? Tidak tahu kah kamu bahwa kami sudah lelah dengan semua ini?”
Aku menutup mata. Bila ada beberapa teman yang mempermasalahkan kerenggangan dalam keluargaku, aku hanya tertawa, membalas itu bukanlah masalah besar. Sebab, kami masih makan malam bersama. Kami masih melaksanakan salat bersama. Kami masih hidup bersama. Jadi, itu bukanlah masalah. Selama bintangku ada dilangit malam, itu bukan masalah, itu yang kupikirkan.
Akan tetapi, beberapa hari sebelum akhir perjuanganku di bangku SMA, sehari sebelum Ujian Nasional, aku menangis dalam salat tahajudku. Berdoa agar Dia dapat memberikan yang terbaik. Untukku dan sang Pencuri Mimpi itu.
Lalu, pengumuman kelulusan SNMPTN jurusan desain di universitas yang aku impikan itu keluar. Aku melonjak kegirangan. Mereka bergeming di ambang pintu. Esoknya, kesehatan pria yang selama bertahun tahun berkawan dengan matahari itu memburuk.
****
Takdir dan waktu telah bersekongkol membuat sebuah momen paling tepat agar manusia dapat memilih. Memilih pilihan terbaik di antara dua pilihan yang buruk. Saat waktu itu datang, aku Cuma memandang langit malam dari balik tirai jendela. Kuhitung dengan cermat, mendapati jumlahnya telah berkurang sebanyak dua puluh tujuh. Lantas, aku pun bertanya tanya, mengapa bintang bintang itu berkurang? Apakah itu karena anak anak telah berhenti bermimpi? Apakah itu karena banyak orang gagal di negeri kami? Atau karena alasan lain?
Di kamar pasien, aku melihatseseorang yang terbaring ridak berdaya karena penyakit ginjal dengan wanita bertangan penuh goresan disebelahnya. Wajah mereka sama sama sendu. Walaupun tidak mengatakan banyak hal, aku tahu mereka berusaha berbicara, “Ibu tidak punya uang, biaya pengobatan bapakmu membengkak. Kalau kamu menyanggupi kesempatan itu dan mesti membayar uang, haruskah kita menjual rumah dan tanah garapan bapak?”
Aku menghela nafas, mendekati keduanya. “Pak, Bu, doakan ya. Nita mau coba di Politeknik. Doakan supaya lancar dan dapat hasil terbaik.”
Raut wajah Ibu, Pencuri Mimpi itu, tidak dapat didefinisikan. Akan tetapi, aku tahu mereka senang.
****
Seorang temanku, Dilla, pernah berpendapat “Itu karena orangtua memaksakan cita cita tanpa melihat potensi anak mereka.” Ia mengatakan sambil meminum jus mangga. “Bayangkan ketika kamu sangat suka merancang bangunan dan disuruh masuk kedokteran padahal tidak tahu apa apa tentang biologi. Di masa depan, saat kamu gagal, orang orang menyebutmu pecundang. Padahal, itu adalah hal wajar. Coba kalau orangtua mengizinkan jadi arsitek. Itu lain cerita lagi, kan?”
Dilla selalu yakin dan berani mengambil resiko. Untuk masuk jurusan kedokteran yang ia inginkan, ia memilih untuk bolos selama tiga hari dalam seminggu agar dapat belajar dengan tenang dirumah. Dia memoles bintangnya sedemikian rupa agar menetap dilangit sana. Agar dapat bersinar lebih terang ketimbang bintang bintang lainnya. “Karena itu, yakinlah pada mimpimu. Apapun yang terjadi.”
Dulu, aku mengamini perkataannya. Namun sekarang, aku Cuma bisa mengingat semua mimpiku sambil memejamkan mata.
Hari itu, pengumuman peserta yang lulus masuk Politeknik. Dan hari itu pula kedua orangtuaku tersenyum sampai meneteskan air mata. Sedangkan aku, membatu. Tidak tahu mesti bereaksi bagaimana.
Manusia menyimpan berton-ton perasaan serta kesabaran untuk mencapai taraf ikhlas. Tidak banyak yang aku ketahui tentang konsep itu. Aku masih tidak percaya bahwa pada akhirnya aku merelakan bintangku redup.
Ketika takdir memaksaku untuk memilih, beberapa teman telah menyerangku dengan pandangan sinis. Mereka berkata “Dapat tiket emas ke universitas bergengsi, tetapi dibuang kedinasan. Kalau begitu, harusnya relakan saja sejak awal, jangan serakah.” Padahal, mereka tidak tahu seberapa besar keinginanku masuk dan menjadi mahasiswi disana.
“Jangan dengarkan. Orang orang selalu begitu. Mereka belum memahami bahwa tiap orang punya alasan. Punya keadaan yg berbeda.” Dilla datang ke rumahku. Mengucapkan selamat. Mendengarkan sekaligus memberikan saran.
Sedangkan, aku terdiam di hadapannya. Beberapa hari lalu, aku mendengar bahwa ia gagal masuk SNMPTN. Ia juga gagal lewat jalur SBMPTN setelah berjuang habis habisan. Melepaskan semua egonya, semua rencana masa SMA-nya, ia dengan berani memilih jurusan lain di universitas swasta. Dan sekarang ia justru datang untuk menghiburku, berkata bahwa aku hebat karena berhasil membuat keputusan seperti itu.
Aku menghela nafas. “Dengar, Dilla. Aku tidak seberapa dibanding denganmu. Kamu seseorang yang luar biasa hebat.” Kuyakini bahwa pengorbananku tidak seberapa dibanding pilihan esktrem yang Dilla lakukan. Akan tetapi, manusia memang membutuhkan lebih banyak waktu.
****
Terkadang, aku tergelitik untuk membuka laman media sosial kampus itu, membayangkan jas biru tua yang akan kkenakan bila ada disana. Terkadang aku juga membaca umpatan tentang aku yang membuang si favorit. Terkadang aku menyesal, lalu sketika berpikir untuk menjadi egois. Terkadang aku ingin kembali ke masa lalu dan mengambil mimpi sendiri.
Akan tetapi, ketika telepon itu datang, menanyakan keadaanku dengan nada riang. Aku Cuma tersenyum, berkata semua baik baik saja, sama seperti langit malam yang tidak tahu satu-dua bintang telah dicuri oleh Pencuri Mimpi.
Suatu waktu, menyisihkan omongan mirinng tentang aku yang dicap sebagai peliharaan negara, aku berjumpa dengan guruku dahulu. Beliau memuji kehebatanku kini sembari sesekali bernostalgia perihal diriku dahulu. Aku Cuma tersenyum, menatap langit yang masih saja sepi.
“Lalu, Nak, bintangmu berada disebelah mana? Pasti itu menjadi salah satu bintang paling terang di langit malam.”
Aku tersenyum. “Itu, ada di sebelah bintang besar itu, Bu. Yang sedang, tetapi memancarkan cahaya lembut.” Lalu, aku tertawa canggung “Bukan bintang saya, lebih tepatnya bintang kedua orangtua saya.”
-Tamat-
Tidak ada komentar