Tipu Daya
Oleh: Annisa RamadhaniImage: pos-kupang.com
Langit berubah menjadi senja. Namun, masih terdengar teriakan dari atas bumi. Jasad-jasad yang bertindihan. Bau anyir darah yang menguasai daerah itu. Gumpalan asap yang menghiasi peristiwa itu. Seperti memang menjadi peristiwa yang khas usai perang. Banyak pejuang yang mati syahid di atas Tanah Air ini. Berjuang untuk terus hidup dan untuk sebuah kata MERDEKA. Ya, kaum Eropa menguasai Bumi Pertiwi ini. Mereka iri dan ingin meraup sumber kekayaan Nusantara yang melimpah ruah. Jatuhlah negeri ini di tangan kasar penjajah.
Sebuah kamp pertahanan berada jauh
di dalam hutan. Persinggahan dari para pejuang untuk beristirahat. Tempat
dimana menyusun kembali strategi perang. Dari arah timur, tampak seorang yang
berjalan dengan payahnya. Menutupi bagian lengan kirinya dengan tangan kanan.
Namun, masih saja darah mengalir dengan segar. Tak lama kemudian, penjaga dari
kamp pertahanan melihat orang itu. Dengan mata yang menyipit, ia terus
mengamati orang itu. Mana tahu, ia salah seorang komplotan Belanda. Si penjaga tadi dengan
sebuah senapan menyilang di badannya. Segera tahu apa yang ia lihat. Ia
langsung memopong orang itu dengan hati-hati. Si Penjaga menuju ke tempat di
mana komando berada. Dan berkata, ”Lapor Komandan, saya membawa seorang dan
sepertinya ia pejuang yang masih hidup dari Perang melawan pasukan Belanda.
Namun malang, lengan kirinya bercucuran
darah, Komandan.”
“Apakah kau sudah memeriksa
dengan teliti, apakah ia tentara Republik?”
“Sudah Komandan”
“Baiklah, bawa dia ke tenda
pengungsian kita, prajurit!”
“Siap komandan”
Si Penjaga pun segera
mengantarkan orang tadi ke tenda. Setelah itu, si Penjaga kembali ke tempat ia
berjaga. Tak lama kemudian, terdengar suara senapan dari arah depan tempat
penjaga berdiri. Matanya terbelalak melihat segerombol pasukan Belanda. Bak
harimau hendak menerkam mangsa. Sontak si Penjaga segera memberitahu kepada
seluruh prajurit untuk segera bersiap-siap. Kentongan bambu dibunyikan pertanda
bahwa ada serangan mendadak dari penjajah. Komandan mendengar suara kentongan
itu dan dengan cepat ia mengambil senapannya. Bersiap untuk menghadapi pasukan
Belanda. “Bersiap di posisi prajurit! Keluarkan semangat patriot kalian”, ujar
sang Komandan dengan nada yang kasar.
Tak terduga bahwa, serangan
Republik juga di pertebal dengan granat. Alhasil, ketika tentara Belanda hampir
mendekati kamp pertahanan. Sang Komandan dan para prajurit melempar sejumlah
granat dari sabuk mereka. Dan terjadilah ledakan cukup kuat. Menewaskan seluruh
tentara Belanda. Sang Komandan berkata, ”Bagus, tentara Belanda sudah mati
sebagian. Namun, kita harus tetap hati-hati. Prajurit, kita tinggalkan tempat
ini. Karena pasti Belanda akan menyerang lagi, karena sudah tahu persembunyian
kita.
Akhirnya
dengan perintah Komandan, mereka segera mengemasi keperluan perang mereka.
Namun, ketika semuanya tersibukan. Ada salah seorang prajurit yang berkata,
“Komandan, orang yang kita bawa tadi menghilang entah kemana”
“Cepat,
cari orang itu dan segera kemasilah barang-barangmu”
“Baik, Komandan, segera”
Si prajurit keluar kamp
pertahanan, namun tidak memperhatikan ada sesuatu di sekeliling tenda. Ia terus
mencari. Namun, ia juga curiga mengapa orang itu langsung pergi. Si prajurit
merasa seperti lega setelah keluar dari kamp dan terus mencari orang tadi. Di
dalam kamp pertahanan, sang Komandan mendengar suara kecil yang nyaring.
Komandan tersadar dan segera berteriak, “Selamatkan diri kalian prajurit, kita
telah di tipu”
Tak
lama kemudian, kamp pertahanan meledak sejadi-jadinya. Seluruh prajurit
termasuk Komandan dilalap oleh ledakan bom itu. Tak termasuk prajurit yang
mencari orang itu. Ia terkejut melihat kamp nya telah habis dan terbakar.
Dengan hati kesal, apakah ini ulah dari orang yang tak tahu berterima kasih
itu. Dasar tak tahu diri. Atau mungkin ia komplotan Belanda.
Prajurit
itu sedih karena melihat teman-teman perjuangan dan Komandannya tewas. Jasad
mereka tak terbentuk lagi dan sulit dikenal. Dengan berat hati, ia meninggalkan
kamp pertahanan itu, dengan keberanian lah yang ia terus uji. Prajurit berjalan
menyusuri hutan belantara, semakin banyak pepohonan yang rimbun. Menutupi
cahaya matahari yang masuk ke hutan. Matanya begitu awas, karena tidak ingin
dirinya ceroboh. Dengan langkah yang tertahan. Ia mendengar suara dari balik
semak-semak. Dengan senapan dari badannya, ia bersiap untuk menyerang. Lama
terdengar suara itu, dan akhirnya hilang.
Muncul
lagi suara dari arah belakang prajurit. Ia segera berbalik dan tiba-tiba sebuah
balok kayu menghantam kepalanya. Dan terjatuh pingsan. Sayup-sayup terdengar
suara sabetan sebuah cambuk. Si prajurit dengan tangan diikat di sebuah tiang
dan kepala tertunduk lesu. Segera membuka matanya dengan lemah, diangkatnya
kepala. Ia melihat tentara Belanda sedang menyiksa para pejuang Republik.
“Hei, apa kalian mau mati, Hah? Lebih baik kalian itu tunduk saja denganku. Banyak harta yang kalian dapatkan dariku. Buat apa susah-susah membunuh kami, kalau kalian bisa mendapatkan harta, kekayaan dan jabatan?”, kata si Jenderal sambil menunjuk mereka semua.
Si Prajurit tertawa geli mendengar perkataannya, dan berkata, “Kami bukanlah pengecut Jenderal, penawaran yang kau tawarkan itu hanyalah untuk seorang pengecut. Lebih baik kami mati karena membela Tanah Air daripada harus menerima harta rampasan darimu”.
Si Jenderal pun bertepuk tangan, namun dengan raut muka yang menghina. “Kalian semua itu, seperti tikus! Kalian mengganggu bahkan mencuri. Tikus seperti kalian harus saya musnahkan dengan menghabisinya. Dan harus aku cari sarang yang menjijikan kalian. Dan menyuruh suruhanku. Orang Indonesia, untuk memasang bom pada sarang kalian itu. Hahahaha….”
Mata si Prajurit membesar, dan mengingat kejadian di kamp pertahanannya dulu.
“Apakah….”. Ingatannya tertuju pada teman-teman perjuangan dan Komandannya yang ia hormati. Ia tidak menyangka bahwa orang dari bangsanya sendiri. Telah mengkhianatinya. Kemarahannya telah memuncak.
“Kenapa? Oh saya baru ingat. Tadi saya menyuruh orang suruhan saya untuk mengebom sarang tikus di dalam hutan. Dan ternyata penyamarannya berhasil mengecoh kalian. Tapi, aku masih belum puas. Karena ada satu orang yang masih hidup. Ia mungkin beruntung untuk kali ini. Tapi tidak untuk hari ini”
Prajurit itu menatap dengan tajam si Jenderal. Ia berdiam sejenak dan dan menundukkan kepalanya. “Wahai Jenderal, terimalah aku sebagai suruhanmu. Akan kupenuhi semua perintahmu. Aku sadar betapa bodohnya diriku. Aku bersusah payah berjuang namun tetap saja nanti aku akan mati nanti. Sudikah kiranya kau menerimaku, sebagai suruhanmu, Jenderal?
“Hahahahaha… Ternyata kau sadar juga akhirnya. Sebelum itu kau harus membuatku terkesan dulu dengan mengebomi sarang mereka. Kalau kau sudah melakukannya aku akan memberimu kekayaan, wahai prajurit”, ujar Jenderal dengan senang.
Tak terasa Jenderal melepaskan ikatan tangan prajurit. Si prajurit dengan membungkukkan badan seraya menghormati Jenderal Belanda. Sang Jenderal menyuruh tentaranya untuk mengambil sejumlah bom, granat dan senapan angin yang ada di gudangnya. Dan menyerahkannya pada si Prajurit. Dengan gagah, si Prajurit memakai perlengkapan perang itu.
Si Jenderal berkata, “Saya sudah memberikan semua yang kau butuhkan. Sekarang tugasmu adalah mencari sarang tikus bahkan sampai diberbagai pelosok daerah. Kalau kau gagal, peluru akan menembus ke kepalamu. Prajurit, kalau kau membutuhkan peralatan lagi. Ambil saja di gudang persenjataan.
“Baik, Jenderal”
Si prajurit segera pergi dengan tergesa-gesa. Ia mengikuti apa yang di perintah sang Jenderal. Namun, ia teringat suatu hal.
Ia segera kembali dan berkata, “Sudah Jenderal, aku sudah mengambil beberapa perlengkapannya. Sekarang aku harus pergi Jenderal. Aku harus melaksanakan tugasku Jenderal”
Akhirnya rencana si Prajurit berjalan lancar, ia ternyata menipu sang Jenderal. Dengan cepat ia berjalan, untuk menyelamatkan diri dari bom yang akan meledak. Ia begitu cepat berpikir, dan langsung menyatakannya. Seorang tentara Belanda, segera memberitahu apa yang dilihatnya. “Jenderal, sekeliling kita sudah terpasang bom. Apakah ini ulah prajurit tadi?”
“Dasar tikus pengganggu, awas nanti kalian semua”, ujar sang Jenderal dengan penuh kebencian. Tak lama setelah itu, bom pun meledak menghabisi semua tentara Belanda termasuk Jenderal. Si Prajurit tertawa gembira melihat itu, dan ia beruntung mendapat perlengkapan perang.
Terus ia mencari berkelana, mencari tentara Republik untuk bekerja sama mengusur Belanda. “Biar aku berbohong demi kemerdekaan negara Indonesia”.
Tidak ada komentar